Moh. Hatta, Perjuangan Untuk Negeri: Dari Pergerakan Sampai Persahabatan (Bagian 1)
“Sinar merah masa datang sudah mulai menyingsing sekarang. Kami menghormati itu sebagai datangnya hari baru. Pemuda Indonesia harus menolong kami mengemudi ke jurusan yang benar. Tugasnya ialah mempercepat datangnya hari baru itu. Ia harus mengajar rakyat kami kegembiraan; bukan sengsara saja yang menjadi bagiannya. Mudah – mudahan rakyat Indonesia merasa merdeka merasa menjadi tuan sendiri dalam negara yang dikaruniakan Tuhan kepada mereka”
Diawal adalah sebuah kutipan dari pledoi Bung Hatta dalam sebuah persidangan di negeri Belanda. Ketika Belanda di negerinya sendiri di dataran Eropa mulai ketakukan dengan tingkah Bung Hatta dan kawan – kawannya. Hingga Belanda mengambil langkah prepentiv yang cenderung agresif dengan menangkap Bung Hatta dan kawan Perhimpunan Indonesia lainnya.
Bung Hatta, semua mengetahuinya sebagai Bapak Proklamator. Salah satu dari dwitunggal sebagai wakil presiden bersama Bung Karno sebagai presiden pertama Republik Indonesia. Terlahir di Tanah Sumatera ketika pemerintah kolonial melenggang dengan tenang di tanah yang bukan haknya. Bung Hatta, yang setelah merdeka beliau dikenal juga sebagai bapak Koperasi Indonesia. Sisanya, tak banyak yang mengetahui atau menelisik lebih lanjut bagaimana kehidupannya semasa dan setelah perjuangan dijaman pergerakan.
Mohammad Athar, begitu nama yang disematkan ketika lahir. Di Fort de Kock -Bukittinggi, 12 Agustus 1902. Beratus tahun setelah ekspedisi Portugis menuju Molucas dan Bantam, berpuluh tahun semenjak perang Padri membara di tanah Sumatera. Delapan bulan terlahir ke dunia yang tidak ramah, Bung Hatta ditinggalkan ayah, Mohammad Djamil. Ayahnya meninggal di usia 30 tahun, ketika Bung Hatta yang masih kecil belum bisa mengingat wajah sang ayah.
Sang ayah sudah tiada. Tidak ada kenangan masa kecil bersama sang ayah, tapi Perang padri jauh berpuluh tahun lamanya dari kelahiran Bung Hatta sampai juga ceritanya termasuk kabar adanya campur tangan Belanda dalam perang besar di Sumatera tersebut. Semua hanya politik untuk mendapatkan kota kelahiran sang proklamator, Bukittinggi yang akhirnya disebut Fort de Kock oleh pemerintah kolonial Belanda. Berselang 6 tahun dari kelahiran Bung Hatta meletus perang Kamang. Sebuah perang yang merupakan pemberontakan sekelompok orang di kampung Kamang terhadap kekuasaan Belanda. Perlawanan terhadap kekuasaan pemerintah kolonial yang tidak adil. Sebuah semangat lama yang terpendam dari masa perang Padri dari dulu kala. “Lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup bercermin bangkai” begitulah semboyan rakyat Kamang yang bertekad mati dengan menyergap kompeni sebagai bentuk kekecewaan yang tidak terbendung atas perlakuan penguasa Belanda yang berbuat semena – mena.
Efek panjang dari perang Kamang adalah dengan diberlakukannya penjagaan lalu lintas, termasuk di salah satu jembatan di dekat rumah Bung Hatta. Marsose berjaga dengan bayonet terhunus di bedilnya. Perlakuan kasar mereka tidak bisa dielakkan, letusan senjata pun kerap terjadi dan salah sasaran. Bung Hatta yang masih kecil bertanya pada pamannya Idris, seputar kejadian di jembatan dekat rumahnya itu, dan diceritakanlah tentang perang Kamang dan tentang Plakat Panjang. Tak banyak yang bisa ditangkap oleh Bung Hatta yang masih kecil akan cerita pamannya itu, hanya segaris besar cerita pamannya yang diingat “Belanda tidak dapat dipercaya, Belanda Ingkar janji”. Terlebih lagi Rais, sahabat Ayah Gaeknya juga ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda yang disangkut pautkan dengan perang Kamang. Atas kejadian jembatan itu yang merupakan buah dari perang Kamang tertanam dalam hati Bung Hatta bahwa Nederland kwaad.
Diawal adalah sebuah kutipan dari pledoi Bung Hatta dalam sebuah persidangan di negeri Belanda. Ketika Belanda di negerinya sendiri di dataran Eropa mulai ketakukan dengan tingkah Bung Hatta dan kawan – kawannya. Hingga Belanda mengambil langkah prepentiv yang cenderung agresif dengan menangkap Bung Hatta dan kawan Perhimpunan Indonesia lainnya.
Bung Hatta, semua mengetahuinya sebagai Bapak Proklamator. Salah satu dari dwitunggal sebagai wakil presiden bersama Bung Karno sebagai presiden pertama Republik Indonesia. Terlahir di Tanah Sumatera ketika pemerintah kolonial melenggang dengan tenang di tanah yang bukan haknya. Bung Hatta, yang setelah merdeka beliau dikenal juga sebagai bapak Koperasi Indonesia. Sisanya, tak banyak yang mengetahui atau menelisik lebih lanjut bagaimana kehidupannya semasa dan setelah perjuangan dijaman pergerakan.
Mohammad Athar, begitu nama yang disematkan ketika lahir. Di Fort de Kock -Bukittinggi, 12 Agustus 1902. Beratus tahun setelah ekspedisi Portugis menuju Molucas dan Bantam, berpuluh tahun semenjak perang Padri membara di tanah Sumatera. Delapan bulan terlahir ke dunia yang tidak ramah, Bung Hatta ditinggalkan ayah, Mohammad Djamil. Ayahnya meninggal di usia 30 tahun, ketika Bung Hatta yang masih kecil belum bisa mengingat wajah sang ayah.
Sang ayah sudah tiada. Tidak ada kenangan masa kecil bersama sang ayah, tapi Perang padri jauh berpuluh tahun lamanya dari kelahiran Bung Hatta sampai juga ceritanya termasuk kabar adanya campur tangan Belanda dalam perang besar di Sumatera tersebut. Semua hanya politik untuk mendapatkan kota kelahiran sang proklamator, Bukittinggi yang akhirnya disebut Fort de Kock oleh pemerintah kolonial Belanda. Berselang 6 tahun dari kelahiran Bung Hatta meletus perang Kamang. Sebuah perang yang merupakan pemberontakan sekelompok orang di kampung Kamang terhadap kekuasaan Belanda. Perlawanan terhadap kekuasaan pemerintah kolonial yang tidak adil. Sebuah semangat lama yang terpendam dari masa perang Padri dari dulu kala. “Lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup bercermin bangkai” begitulah semboyan rakyat Kamang yang bertekad mati dengan menyergap kompeni sebagai bentuk kekecewaan yang tidak terbendung atas perlakuan penguasa Belanda yang berbuat semena – mena.
Efek panjang dari perang Kamang adalah dengan diberlakukannya penjagaan lalu lintas, termasuk di salah satu jembatan di dekat rumah Bung Hatta. Marsose berjaga dengan bayonet terhunus di bedilnya. Perlakuan kasar mereka tidak bisa dielakkan, letusan senjata pun kerap terjadi dan salah sasaran. Bung Hatta yang masih kecil bertanya pada pamannya Idris, seputar kejadian di jembatan dekat rumahnya itu, dan diceritakanlah tentang perang Kamang dan tentang Plakat Panjang. Tak banyak yang bisa ditangkap oleh Bung Hatta yang masih kecil akan cerita pamannya itu, hanya segaris besar cerita pamannya yang diingat “Belanda tidak dapat dipercaya, Belanda Ingkar janji”. Terlebih lagi Rais, sahabat Ayah Gaeknya juga ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda yang disangkut pautkan dengan perang Kamang. Atas kejadian jembatan itu yang merupakan buah dari perang Kamang tertanam dalam hati Bung Hatta bahwa Nederland kwaad.
Gabung dalam percakapan