Dinamika Perjanjian Internasional Bidang Lingkungan dan Efektifitas Implementasinya

Perhatian terhadap isu lingkungan semakin meningkat seiring dengan munculnya kesadaran terhadap pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup. Hal ini muncul dengan diawalinya kesdaran terhadap lingkungan pada level domestik yang berkembang ke level internasional. Perhatian tersebut muncul pada kebijakan level negara dan juga berupa dalam bentuk perjanjian internasional. Pembahasan tingkat tinggi melalui Konferensi Tingkat Tinggi mengenai lingkungan sudah dimulai pada tahun 1972 yang dilakukan di Stokholm pada KTT Stokholm yang mengajak setiap negara untuk mengimplementasikan pembangunan yang ramah lingkungan (Wahyuningsih, 2017).

Negara – negara di Eropa yang sudah selesai dengan kebutuhan “primernya” memiliki perhatian yang serius terkait isu lingkungan daripada negara-negara dunia ketiga. Keadaan dan kebutuhan di negara-negara dunia ketiga khususnya negara berkembang isu mengenai lingkungan terkadang masih bersebrangan dengan kebutuhan ekonomi khususnya selain daripada isu implementasi good governance yang juga berdampak terhadap kebijakan terkait lingkungan. Dan mereka (negara maju di Eropa) yang lebih dulu mengimplementasikan pembanguan yang ramah lingkungan sadar bahwa dalam menjaga lingkungan bukan hanya dilakukan oleh sebagain negara saja tetapi juga memerlukan peran aktif dari negara laiinnya.

Dari MDG’s menuju SDG’s

Hampir setiap dekade melalui organisasi internasional yaitu PBB mengeluarkan suatu kesepakatan antar negara yang didalamnya memuat isu mengenai kelestarian lingkungan. Seperti pada tahun 2000 yang pada saat ini pemmpin negara- negara di dunia bersepakat untuk mengimplementasikan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Lebih umumnya hal tersebut dimuat dalam kesepakatan yang didalamnya memuat 8 tujuan pembangunan berkelanjutan yang disebut dengan Milinium Development Goals (MDG’s).

MDG’S merupakan tujuan dan tanggung jawab dari semua negara yang berpartisipasi dalam KTT Milenium yang melibatkan rakyat serta pemerintahannya ( Wahyuningsih, 2017). MDGs yang di tetapkan pada tahun 2000 yang didalamnya memuat 8 poin, menjadi dasar ditetapkannya Sustainability Development Goals (SDG’s) pada tahun 2015 yang didalamnya juga memuat mengenai isu lingkungan. Secara spsefisik dalam SDG’s memuat mengenai isu perubahan iklim, menjaga ekosistem laut, serta menjaga ekosistem darat.

Paris Agreement, RED I, RED II dan Sawit, serta Back to Organic

Pada tahun 2015 yang berlokasi di Paris, Perancis 195 perwakilan negara di dunia menghadiri konferesi perubahan ilkim yang menghasilkan kesepakatan yang disebut dengan Paris Agreement. Paris Agreement sendiri bertujuan menahan laju pemanasan global serta Meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi terhadap dampak dari perubahan iklim, meningkatkan ketahanan iklim, dan melaksanakan pembangunan yang bersifat rendah emisi gas rumah kaca tanpa mengancam produksi pangan.

Hingga Maret 2017, 194 negara telah menandatangani perjanjian ini dan 141 diantaranya telah meratifikasi perjanjian tersebut. Indonesia sendiri merupakan salah satu negara yang menandatangani perjanjian ini pada 22 April 2016. Indonesia meratifikasi persentase gas rumah kaca sebesar 1,49%.

Selain dari pada itu seperti yang sudah disebut di awal bahwa Eropa merupakan negara yang memliki perhatian serius mengenai isu lingkungan. Pada tahun 2008 Uni Eropa mengeluarkan suatu kebijakan yang disebut dengan Renewable Energy Directive. Kebijakan tersebut mendorong negara anggota Uni Eropa untuk menggunakan energi terbarukan seperti biofuel yang berbahan dasar dari sawit. Uni Eropa pada memiliki penggunaan biofules yang cukup tinggi. Dengan pengunaan sawait yang cukup tinggi yang diantaranya indonesi berkointribusi sebawai pemasok sawait terhadap nilai import sawit di Uni Eropa. Pada tahun 2015 nilai eks eksport sawait Indoesia ke Eropa meningkat. Pada tahun 2017, tercatat nilai Indonesia mengirimkan sawit sekitar 5, 3 juta ton. Kebijakan RED di Uni Eropa tersebut tentu sangat berpengaruh terhadap Indonensia yang dimana hal tersebut mendorong Indonesia bersemangat memproduksi CPO dari Sawit dan memperluas lahan perpebunan sawit.

Namun hal tersebut tidak berlangsung lama karena keadaan berubah setelah adanya revisi RED menjadi RED II yang menyebutkan bahwa sawai t bukan merupakan bagian dari Renewable energy serta setelah adanya eport on Palm Oil and Deforestation of Rainforest (Katerina, 2017). Resolusi ini memuat perintah larangan ekspor minyak kelapa sawit karena industri minyak kelapa sawit telah menyebabkan deforestasi dan kebakaran hutan sehingga bertentangan dengan visi pembangunan berkelanjutan dan progresif Uni Eropa (Stiadi, 2020)

Pada Desember 2018, UE mengadopsi kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) yang menetapkan target konsumsi 32% renewable energy di UE pada tahun 2030. Target UE ini patut disambut baik dalam rangka mengurangi dampak perubahan iklim. Akan tetapi, ia kemudian dipertanyakan ketika Komisi Eropa pada 13 Maret 2019 mengadopsi Delegated Act atau aturan implementasi RED II yang menetapkan kelapa sawit sebagai tanaman pangan berisiko tinggi berdasarkan metodologi Indirect Land Use Change (ILUC) dan tidak dapat diklaim sebagai sumber renewable energy UE pada 2030. Delegated Act tersebut akan berlaku jika dalam dua bulan setelah diadopsi tidak mendapatkan penolakan dari Parlemen Eropa dan Dewan Eropa.

Selanjutnya konsep back to organic farming menjadi salah satu tren di dunia saat ini yang mulai kembali ramai diperbincangkan pada tahun 2010 dan sudah dipelopori oleh Sir Arthur Albert pada tahun 1930. Hal ini menurut saya erat kaitannya dengan isu perlindundungan lingkungan dimana hal tersebut memiliki kontribusi yang cukup penting terhadap lingkungan. Tentu tren back to organic mestinya mendapatkan perhatian yang juga tinggi dalam Paris Agreement yang saat ini terlihat seperti hanya mem-bold perubahan iklimnya saja.