Dinamika Perjanjian Internasional Bidang Lingkungan; Implementasi dan kendala (Bagian 2 - habis)


Jika kita melihat implementasinya tidak secara umum dari berbagai kebijakan dan perjanjian yang disebutkan di atas menurut saya masih ada beberapa hal yang bersebrangan atau terdapat ketimpangan.

Seperti yang saya sebutkan diawal, bahwa perhatian isu lingkungan dilakukan cukup serius saat ini hanya oleh negara – negara Uni Eropa yang notabene mereka sudah selesai dengan “kebutuhan pokoknya”. Sedangkan bagi negara – negara berkembang yang masih memiliki pekerjaan rumah yang cukup berat, isu lingkungan hanya menjadi pelengkap saja.

Lebih jauhanya, keterlibatan negara berkembang pada perjanjian inernasional bidang lingkungan lebih kepada motivasi “bantuan” dari negara maju yang memiliki perhatian terhadap lingkungan kepada negara – negara berkembang yang potensial atau memiliki pengaruh terhadap keberlangsungan lingkungan hidup.

Selanjutnya di negara berkembang ekonomi rata – rata menjadi prioritas utama ketimbang isu lingkungan. Beberapa negara masih menggunakan jalan pintas dengan alasan kesejahteraan rakyat meski jalan yang diambil dirasa tidak ramah atau tidak berpihak terhadap lingkungan. Seperti deforestsasi untuk keperluan ekonomi semata.

Ditambah lagi ada kebijakan di level domestik yang bertolak belakang denga apa yang tertuang dalam perjanjian internasional bidang lingkungan. Hal ini banyak sekali terjadi di negara berkembang. Lagi – lagi alasan yang muncul adalah ekonomi, atau demi kesejahteraan rakyat.

Namun lebih jauh hal tersebut bisa disebabkan oleh tidak adanya praktek good governance di negara bersangkutan sehingga terjadi salah ambil kebijakan di level domestik. Konflik kepentingan dalam tubuh birokrasi domestic turut mempengaruhi efektifitas implementasi Kebijakan Internasional tersebut.

Misalnya, Indonesia merupakan negara yang menandatangai Paris Agreement dan meratifikasi emisi sebesar 1,49%, disisi lain ada kebijakan yang bertolak belakang dengan hal tersebut. Contohnya dengan adanya penatapan dari Presiden Indonesia yang menyatakan bahwa abu batu bara tidak termasuk limbah berbahaya melalui pencabutan aturan terkait hal tersebut. Pencabutan aturan tersebut akan berdampak semakin maraknya penggunaan batu bara di Indonesia khususnya untuk PLTU.

Selanjutnya perbedaan paham antara negara – negara Uni Eropa dengan produsen minyak sawit. Hal ini bisa dilihat dari adanya revisi dari RED menjadi RED II. Saya melihat di sana ada perbedaan pandangan antara Uni Eropa dengan produsen kelapa sawit termasuk Indonesia mengenai produksi kelapa sawit dan peran kelapa sawit. Pada awalnya Uni Eropa mengkonsumsi kelapa sawit cukup tinggi namun ketika diberlakukannya RED II yang menganggap bahwa kelapa sawit tidak ramah lingkungan. Saya melihat di sini terdapat perbedaan paham terhadap dampak sawit terhadap lingkungan. Belum lagi adanya perbedaan paham mengenai perubahan iklim. Beberapa ilmuan percaya bahwa perubahan iklim adalah bagian daripada siklus bumi yang normal terjadi. Nah menurut saya yang lebih penting adalah bagaimana kita beradapatasi dan memenuhi kebutuhan hidup manusia ditengah perubahan iklim tersebut dengan kembali pada konsep back to nature atau back to organic dengan kehidupan yang ramah terhadap tanah, air dan lingkungan lainnya. Seperti konsep pertanian organik. Maka dari itu penting sekali Paris Agreement tidak hanya membicarakan pada letak pemasanan global atau perubahan iklimnya, tetapi juga langkah antisipasi yang harus dilakukan untuk keberlangsungan hidup manusia.

Jadi menurut saya saat ini perjanjian internasional saat ini bagus dalam tujuan namun dalam hal efektifitas implementasi masih ada hal – hal yang perlu diperbaiki termasuk konsepsi dan motivasi, serta intensi/maksud dalam perjanjian tersebut. Karena meskipun hal tersebut merupakan kesepakatan/perjanjian, kadang terdapat kesalahpahaman dan ada maksud atau kepentingan lain dalam hal tersebut.