Cerita dengan Senja



Selamat sore desaku. Nuansa sore mu selalu menawan untuk dinikmati dengan udara pegunungan yang dingin. Kali ini aku meihat lembayung kuning mu di barat, diantara himpitan gunung-gunung dan juga hutan belantara yang penuh pohon yang begitu rapat.

Desaku, suasana ini selalu mengingatkan ketika waktu itu sore hari, dikala senja telah bertepi. Ketika malam telah mulai menyebarkan gelapnya, tetapi aku masih berdiri, melihat nuansa soremu sampai aku lupa diri dan lupa waktu.

Desaku, entah bagaiamana aku menjelaskannya. Namun aku selalu menanti nuansa sore di tanahku, apapun itu. Hujan, ataupun lembayung di barat, diantara gunung-gunung tinggi.

Tidak bosan bagaimanapun caraku menikmati sore hari. Aku senang sekali menikmati senja, dikala matahari hendak bersembunyi, dan sejenak berhenti menerangi. Sebelum datang kembali di pagi hari. Dan ketika malam, hanya sinar rembulan, pantulan sinar matahari yang mewakili disertai bintang-bintang. Aku bisa melihatnya dengan jelas dari jendela kamar. Menikmati waktu demi waktu, dan detik serta sepersekian detik yang aku lalui.

Senja, senja itu menurutku sangat romantis. Sebuah romatika alam ketika hari yang terang akan berubah menjadi gelap. Sebuah titik pertemuan antara siang dan malam, dan entah kenapa aku sering menantikan hal tersebut. Entah itu titik pertemuan sore dengan malam, atau malam dengan pagi. Dengan hiasan sang fajar yang tidak bisa terwakili olah rangkaian kata. Dengan lengkingan suara bernada tinggi dipagi hari, ayam berkokok, namun tanpa malam dengan lolongan anjing.

Baik senja atau pagi yang datang seolah mewakili, mewakili susana hati. Pertemuan-pertemuan alam itu juga rasanya menggambarkan pertemuan-pertemuan dalam hidup.

Hai senja, ini kesekian kalinya aku bertemu dengan mu. Di tanahku, di desaku. Senja kali ini mewakili perasaan ku yang tidak menentu. Namun senja selalu mewakili bagaimana pun rasaku. Kali ini aku bermain – main dengan mu, bermain cahaya. Cahaya kuning, orange, sebelum semuanya hilang menjadi gelap. Angin yang menggoyangkan pepohonan itu menambah susasana senja yang begitu khidmat dan malam yang hampir tiba.

Entahlah hari esok aku tidak tahu apakah aku masih bisa bertemu dengan mu wahai senja. Tapi aku berharap semoga aku masih bisa bermain-main cahaya denganmu, dan berbagi cerita meski aku tidak berkata, tapi aku bahagia dengan itu. layaknya semua hati, semua hati yang mengharap bahagia.

Pertemuan dengan senja kali ini, mengingatkanku dengan teman-teman yang lain. Entah kapan terakhir kali aku bercengkrama dengan mereka. Dulu sepertinya tidak ada kekosongan, bahkan dunia ini rasanya seakan dihabiskan dengan mereka. Semuanya. Namun sekarang semua telah berubah. Waktu telah merubah semua, atau mungkin memang seiring berjalannya waktu kita memang berubah, fisik, lingkungan, maupun semuanya.

Hai teman, kini aku disini, disini tanpa kalian. Hai teman, kalian pasti telah mendapatan lingkungan-lingkungan baru, teman baru, nuansa baru, tapi tenang saja, kalian tidak usah khawatir teman, aku disini juga dengan teman yang dari dulu sering menemaniku, lembayung senja dan fajar di pagi hari, yang hingga kini tetap tidak bosan aku tatap dan tetap setia.

Teman, ada begitu banyak cerita jika kita jumpa. Aku akan menanyakan kabar kalian pertama-tama, hingga kita bercerita lebih jauh sampai aku tidak tahu itu seperti apa. Tapi meski aku tidak bisa jumpa sampai saat ini, jika kalian wahai teman merasakan senja atau pagi, resapi itu karena ceritaku terwakili oleh itu. Senja kini hampir berakhir suara panggilan sang pencipta tu telah berkumandang, namun ceritaku masih menyala. Sampai jumpa disenja berikutnya.