Ibu?



Malam itu begitu gelap ketika datang, senja menghilang dan sinar redup sang surya lenyap melenyapkan segala yang nampak. Aku masih berlari bersama kawanku berbagi keceraian yang tidak tahu entah dengan siapa lagi selain dengan mereka.

Nenekku kembali dari tepian sungai setelah mencuci, aku tak membantunya hari ini. Dia memberiku “dispensasi“ kepada ku hari ini untuk bermain seperampat hari bersama kawanku sampai aku bosan, meski tak pernah aku bosan meski bermain seharian. Tetapi aku esok akan kembali, kembali pada pekerjaanku.

Teselip harapan yang ada dalam diriku yang begitu kecil, polos dan tidak tahu apa-apa. Dalam pikiranku aku terkadang bertanya dalam hati, “apakah ibu akan kembali? Mengapa ibu melakukannnya, mengapa ibu meninggalkanku? Mengapa, mengapa, mengapa?“ Itu yang ingin aku tahu jawabannya namun tak sepatah kata pun ada untuk menebus tanda tanya yang setiap hari ada ketika aku ikut serta bekerja, ketika aku bermain, ketika aku merenung sendiri, ketika aku bermimpi.

“Ibu kapankah pluang dari negeri orang? Ibu, apakah kau sudah lupa denganku, anakmu? Ibu apakah kau sudah sudah memiliki kehidupan lain di sana, bersama mereka , yang awalnya bukan siapa-siapa, sehingga ibu lupa dengan diriku?“

Terkadang aku berpikir merepotkan seperti itu. Tapi aku hanya anak kecil yang butuh kasih sayang, perlindungan dari seseorang yang seharusnya ku sebut ibu. Entah apa rasa itu aku namakannya. Ketika para ibu menjemput anak-anaknya ketika pulang sekolah, membuatkan bekal sebelum berangkat sekolah, mencium keningnya ketika mereka tertidur, serta membenarkan selimut dan letak leher ke bantal ketika tertidur pulas, ketika bermimpi tentang mu ibu, ada rasa ingin merasakan yang seperti mereka rasakan, aku juga ingin mengalami hal-hal seperti itu. Ikut belanja ke pasar atau sekedar, ikut merepotkan ketika ibu membuat kue, atau menghabiskan kue yang baru ibu buat sampai aku mendapat dari mu ibu, yang akhirnya menjadi canda tawa antara kita.

Ibu sudah di negeri orang, dan ayah hilang entah kemana, aku hanya bersama nenekku yang kubantu mengerjakan sesuatu yang bisa saya kerjakan, mengantarkan hasil rajutan ke tetangga, membersihkan pekarangan rumah, mengantarkan susu, mencuci baju, sampai ‘mencuci si bone kambing belang‘.

Terkadang aku juga ingin hidup sperti mereka, hidup layaknya hidup seorang anak-anak seumuranku biasanya, menangis, tertawa, dan bergurau dengan anggota keluarga lainnya, tapi meskipun begitu aku bersyukur mempunyai nenek yang kecut ketika biasa, apalagi sedang marahnya.

Ada secercah harapan untuk kembalinya kau ibu, dalam keheningan di kandang si belang terkadang aku membayangkan ibu, ayah dan aku bersatu kembali dalam suatu kebahagian yang tidak akan pernah terhenti meski hari terus berganti, masa panen telah berlalu, tidak kan terpisah meski lewat musim hujan yang begitu basah. Ibu membuatkanku bekal untuk sekolah, mencuim keningku, membenarkan letak selimut, leher dan kepalaku pada bantalku, ketika aku memimpikanmu ibu.

Kau pergi begitu cepat dan kembali begitu lambat, kau pergi ketika aku tak mengerti apa-apa. Andai saja kau pergi ketika aku seperti halnya sekarang, aku akan menangis sejadi-jadinya sehingga kau ibu berpikir seribu kali kembali untuk meninggalkanku.

Ada bayanganmu ibu di setiap langkahku, meski mereka selalu berpikir bahwa mengharapmu kembali memelukku dan menciumku dengan penuh kehangatan dan kerinduan adalah hal yang merepotkan dan buang-buang tenaga saja. Karena mereka berpikir bahwa kau ibu, sudah punya mereka, orang negara lain itu.

Ibuku TKI yang tak kembali. Apakah aku harus terus berharap akan ibuku, bermimpi setiap hari ketika matahari bersinar kembali. Menanti sesuatu yang tak pasti dan tak ku ketahui. “Ibu apakah kau merindukanku? Aku rindu dirindukan bu, apakah kau memang benar-benar menemukan kehidupan baru dan melupakanku?“

Ibu, dalam kesendirian, dalam doaku aku meratap untuk bertemu mu wahai ibu. Aku menangis meski tak bercucur karena aku lelaki yang belajar untuk tegar meski air dari mata ini mengalir jua, meski tangis yang ku tahan akhirnya mengguncang. Memang rasanya tak apa aku menangis untuk mu ibu, ketika kerinduan mencapai sebuah puncak yang aku lampiaskan dalam sebuah tangisan, seperti bayi yang ingin asi. Karena aku hanya anak kecil yang ternyata memang sebatang kara, yang begitu naif dalam kehidupan yang berupa warna yang tak bisa ku derkripsikan seperti apa.

Ibu, dalam hening malam aku bersujud semoga aku di pertemukan dengan mu ibu. “Apakah ibu selalu mendoakanku untuk segala kebaikanku? Aku anakmu selalu mendoakanmu, untuk kebaikan kita“.

Dalam senja termenung di sebatang kayu tua, iringan, lantunan sidomba belang, dan riak sungai yang ku nikmati sebagai simphoni alma semesta, hari ini aku melihat matahari tenggelam kembali, apakah kau juga melihatnya ibu? Semoga esok hari aku masih bisa duduk di batang pohon tua menikmati simphoni alam, matahari tenggelam dan berharap kau ada di sisiku ibuku.



Zazat Zenal Mutakin, 17 Desember 2011, 6.01 wib

Didedikasikan untuk anak-anak yang sebatang kara yang menati ibunya dan kehangatan sebuah keluarga. Kita adalah keluarga.