Mengepung Jakarta dengan Sabuk Hijau Pembersih Udara

Akhir-akhir ini ramai diperbincangkan mengenai kualitas udara di Jakarta yang sangat mengkhawatirkan. Berbagai pandnagan muncul mengenai penyebab utama permasalahan udara yang buruk tersebut. Mulai dari emisi yang dihasilkan dari asap kendaraan, pembakaran sampah secara langsung, debu jalanan dan banyak lainnya. Tentu untuk menemukan solusi dari permaslahan tersebut perlu ditemukan akar permasalahannya. 

Namun semua yang disebutkan diatas memiliki peran dan terakumulasi terhadap pencamaran udara di Jakarta akhir-akhir ini. Menemukan akar masalah diperlukan agar ada langkah taktik dan prioritas dalam tindakan yang dilakukan. Tentu hal tersebut tidak akan berdampak instan dan serta merta, tatapi tindakan yang dilakukan harus dilakukan berkelanjutan agar berdampak jangka panjang.

Regulasi memang diperlukan demi menekan pencemaran udara yang terjadi. Namun sekali lagi, regulasi perlu diambil berdasarkan kajian yang ilmiah yang berkaitan dengan kondisi lingkungan. Sekali lagi menemukan akar masalah adalah hal penting tentu dengan kajian secara ilmiah untuk mennetukan tindakan selanjutnya termasuk dalam pengambilan regulasi yang ditetapkan.

Banyak media menginformasikan bahwa industri yang memberikan kontribsi polutan yang cukup berat banyak disekeliling jakarta. Penting sekali hal ini dikaji untuk diambil kebijakan terkait tersebut. saya rasa tidak cukup dengan memberlakukan pembatasan kendaraan berbahan bakar fosil yang berkontribusi terhadap pencemaran udara dan menggalakkan kendaraan yang dinilai lebih ramah lingkungan dengan asumsi tidak mengeluarkan emisi ketika penggunannya. Masalah utama lagi-lagi perlu ditentukan, agar kebijakan yang ditetapkan tidak salah sasaran. 

Saya percaya bahwa alam memiliki ambang batas. Dan saya berpendapat bahwa emisi diproduksi dari zaman dahulu meski tanpa adanya kendaraan. Hal tersebut bisa terjadi karena aktivitas manusia seperti pembakaran ataupun proses dekomposisi yang dulu terjadi secara alami. Namun produksi emisi yang terjadi secara alami tidak memiliki peran yan cukup besar dalam pelepasan karbon di udara. Dan menurutt intuisi saya hal tersebut masih dibawah ambang batas alam. Dengan kata lain masih bisa dikendalikan dan diuraikan oleh alam. 

Nah, alam selalu bisa menguraikan secara alami termasuk karbon yang dilepaskan oleh aktivitas manusia. Selagi hal tersebut berada di bawah ambang batas. Ketika hal tersebut tidak sebanding dengan kemampuan alam untuk menguraikannya maka akan terjadi ketidak seimbangan dan mengganggu terhadap keberlangsungan kehidupan. 

Alam, melalui hutan menyerap karbon yang dihasilkan dan menguraikannya. Dan hutan hanya salah satu  medium alam untuk menguraikan dan membangun keseimbangan. Masih banyak medium lainnya, yan apabila kita lihat kondisinya cukup mengkhawatirkan seperti laut dan juga sungai. Pun dengan hutan yang hari demi hari luasannya semakin menyempit. Semakin berkurang pula apa yang diserap dan diuraikan. Kondisi demikian tentu berpengaruh terhadap keseimbangan dan juga kehidupan itu sendiri. 

Terlepas dari akar masalah yang perlu ditemukan dengan kajian yang ilmiah, keberadaan pengurai yang tersedia secara alami perlu dipertahankan. Hutan harus dikembalikan, bukan hanya sekedar dipertahankan. 

Jakarta adalah metropolitan, berapa luas kawasan hijau dan hutan dari dahulu sampai dengan saat ini yang telah berubah. Jakarta harus tetap memiliki pengurai sebagai paru paru yang tersebar bagaikan rongga-ringga hijau dalam kota. Lebih menarik jika membentuk kawasan yang layaknya hutan alami, bukan hanya sekedar hutan kota. 

Sabuk hijau menjadi suatu hal yang menarik. Mengelilingi jakarta dengan hutan tropis sebagai pengurai karbon dan menghembuskan kesegaran semua yang beraktifitas di metropolitan. Membuat kawasan hutan disekitara pinggiran kota barangkali menjadi ide yang bisa dipertimbangkan. Bagaimana ada kawasan hutan yang memiliki ketebalan yang cukup lebar serta heterogen. Seperti benteng yang mengelilingi kota, tetapi bukan terbuat dari batu tapi hutan sebagai sabuk hijau yang mengepung kota.