Poecillia reticulata
Juni hari itu bertepatan dengan tanggal satu Ramadhan. Ada hal yang selalu muncul dalam ingatan diawal Ramadhan ketika pagi ketika aku duduk ataupun berdiri diawal hari.
Waktu itu masih pagi. Anak - anak di kampung tempat saya dibesarkan biasa berkumpul sambil berbicara tentang apa yang ingin dibicrakan atau sestua hal yang yang diyakininya yang belum diketahui oleh teman yang lain, semisal pengalaman baru ketika ia pergi ke kota, berkelilieng hutan bersama ayahnya sekedar untuk mencari buah markisa atau mnecari jamur kuping. Diawal ramadhan, anak – anak yang bersekolah tidak berangkat sekolah dikarenakan libur. Selain bermain - main dijalan beraspal dengan rodanya yang terbuat dari kayu dan empat 'laher' besi, dari subuh sampai matahari terang, anak - anak kecil itu biasanya berkumpul di suatu tempat. Di manapun mereka berkumpul, sekedar membicarakan hal - hal yang biasa dibicarakan anak – anak, atau seperti yang sudah disebutkan tadi, membeicarakan hal yang ingin dibicarakan atau hal yang diyakininya, seperti lini itu bukanlah gemap dan gempa bukanlah lini.
Anak anak itu penuh imjanisi. Dalam pembicaraan itu pun muncul ide yang terserap dari imajinasi bocah – bovah untuk melakukan hal - hal yang bisa mengatasi kebosananan. Menonton tv adalah hal yang dilarang oleh guru ngaji dan orang tua kami, terlebih lagi di bulan puasa. Lagi pula warung tempat kami nonton tv pun tutup dipagi hari jika dibulan puasa. Kami biasa nonton tv disebuah warung bukan di balai desa, yang anak sipemilik warung juga kawan kami. Tapi meskipun demikian kalau akal bulus kami sedang muncul, kami bisa membuat persekongkolan dengan anak sipemilik warung, dan akhirnya bisa nonton tv dari pagi sampai sore hampir - hampir lupa untuk sholat, dengan serial Wildwest sebagai acara favoritnya. -Pelajaran moral; patuhi nasihat guru ngaji dan orang tuamu, sebelum akhirnya kau menderita.
Alhasil muncullah ide dari sebuah musyawarah para anak - anak kampung itu untuk mengatasi kebosanan yang melanda tatkala menunggu bedug magrib. Mereka merencanakan untuk jalan - jalan sekedar 'ngabeubeurang', menunggu waktu siang ke Kebun Raya yang lokasinya cukup dekat dari kampung kami, cukup dekat apabila diambil garis lurus.
Berakhirlah musyawarah komplotan anak kampung itu dengan keputusan untuk piknik tanpa makanan ke Kebun Raya di bulan puasa. Aku salah satu dari mereka.
Kebun Raya, berada di sebelah sisi utara desa kami. Jarak terdekat adalah garis lurus yang tidak lain adalah tebing curam bersemak belukar dengan arus air di bawahnya. Dengan perhitungan garis lurus tersebut bahkan Kebun Raya bisa terlihat permukaan rumputnya. Jalur lain yang biasa digunakan oleh para orang tua adalah hutan. Jalur ini harus memasuki hutan terlebih dulu. Ke arah barat melewati empat tebing, dua sungai, dan dua bukit, dari sana dilanjutkan dengan menyusuri hutan ke arah timur. Menyeramkan.
Kedua jalur itu tidak kami gunakan. Kami memutuskan untuk menyusuri jalan desa beraspal melewati beberapa kampung. Jaraknya cukup jauh karena memutar, dan kami rasa itu lebih baik daripada melewati empat tebing, dua sungai dan dua bukit serta hutan.
Jalan beraspal dipagi hari menyenangkan, kami berjalan gembira bak mau berpiknik sesungguhnya. kadang kami melalui jalur di luar kampung untuk menghindari beberapa hal; pertama malu sama penduduk kampung; kedua komplotan anak - anak di kampung tersebut.
Kami berjalan dengan begitu bergembiranya dengan jalanan turun tanpa tanjakan, lupa akan derita yang nanti akan menimpa.
Gerbang tertutup, namun ada bagian yang terbuka, tangga yang turun ke dasar sungai. Kami masuk berjalan melenggang di taman dengan pohon - pohon tinggi menjulang. Menjelajahkan pandangan di lingkungan hijau luas nan terawat. Rupa - rupanya anak kampung terdekat juga sudah ada yang bertengger di pohon. Kami tidak saling bicara ataupun menyapa dengan mereka, tidak juga memerhatikan wajahnya. Takut - takut hal itu diartikan sebagai sikap menantang terhadap mereka. Mungkin saja apabila hal itu kami lakukan bisa tersulut emosi mereka dan terjadilah 'pertempuran' atau duel 'kepala suku' dari masing - masing komplotan antar anak kampung yang mengerikan. Sangat mengerikan dengan berbagai macam jurus yang dikeluarkan oleh masing - masing lakon dalam 'pertempuran'.
Hal itu sangat sensitif. Apabila antar anak kampung lain bertemu, maka mereka akan saling menantap, atau sebagian menghindari tatapan itu. Namun bila keduanya menangkap tatapan, entah apa itu arti tatapannya, maka keluarlah bahasa - bahasa yang sulit di mengerti, lalu 'pertempuran' antar anak kampung pun terjadilah.
Mungkin itulah semacam cara untuk menunjukan kekuatan atau mempertahankan wilayah kekuasaan, seperti yang ditampilkan di video dokumenter yang sering kami tonton di TV -Wildwest- , seperti seekor singa pejantan yangunjuk kekuatan mempertahankan wilayahnya ketika singa - singa lain atau hyena datang memasuki wilayahnya. Dan kami memang kebanyakan nonton Wildwest. -Pelajaran moral; jangan sering nonton tv, terlebih acara wildwest.
Dan tanpa bermusyawarah lagi pun sepertinya kami sepakat, bahwa kami tidak ingin hal itu terjadi, yang jelas rumah kami lebih jauh ketimbang mereka, hal itu menyusahkan kami untuk kabur kalau - kalau ketika duel 'mendapatkan kekalahan'.
Berjalan - jalan di sekitar taman dan menjauhi komplotan anak dari kampung lain. Itu adalah cara terbaik untuk tidak mengusik ketentraman mereka dengan 'wilayah kekuasannya'.
Kami mendapatkan tempat dengan posisi tanah tinggi dengan jalanan batu belumut dengan pohon Araucaria di kedua belah sisinya. 'Wilayah kekuasaan' kami menghadap sebuah danau buatan yang besar berbentuk bundar. Bisa kami temukan juga Poecilia reticulata di airnya.
Dari sana, dari 'wilayah kekuasaan' kami bisa melihat hampir ke segala arah karena tempatnya yang cukup tinggi, termasuk pohon tempat komplotan anak kampung terdekat bertengger di dahannya. Di atas rumput hijau serta rindangnya Araucaria, kami bersantai, sekedar bersantai, terlentang melihat langit, atau berjalan - jalan melihat keadaan sekitar lainnya. Persis seperti seekor singa yang sedang memantau wilayahnya.
Suasana yang nyaman membuat kami terlena, bahkan kami memutuskan untuk sholat dzuhur di sana saja, di bawah Araucaria yang rindang dengan jaket yang kami pakai sebagai sajadahnya.
Sebuah penderitaan baru akan dimulai ketika kami pulang. Sekitar pukul 2 siang kami memutuskan untuk pulang. Tidak kami lalui jalan pinggiran lagi, hanya jalan aspal. Ketika keberangkatan jalanan turun, namun ketika pulang semuanya adalah tanjakan. Panas benar matahari pukul 2. Aspal hitam yang terasa begitu panas, serasa nampak fatamorgana. Keringat bercucuran, dan kami sedang berpuasa. Celakanya adikku ikut, membuatku semakin menderita melihatnya. Masih ingat saja ketika saya melihatnya di tanjakan dengan peluh bercucuran. Saya selalu merasa berdosa ketika mengingatnya. Karena aku mengijinkannya untuk ikut.
Kami bagaikan komplotan serdadu Inggris yang terjebak di padang pasir Afrika. Beruntung nasib kami tidak seperti mereka. Kami bisa pulang meskipun dengan kepayahan dan tak tahu apa yang terjadi di rumah masing - masing selanjutnya. -Bagai komplotan Poecillia reticullata yang kehabisan air dan kepanasan terpanggang matahari. Pelajaran moral; jangan memulai ide gila untuk mengadakan perjalanan jauh dengan berjalan kaki di bulan puasa sekedar untuk 'ngabeubeurang', terlebih lagi membawa saudaramu menderita.
Balia Atila di Bulan Puasa
Waktu itu masih pagi. Anak - anak di kampung tempat saya dibesarkan biasa berkumpul sambil berbicara tentang apa yang ingin dibicrakan atau sestua hal yang yang diyakininya yang belum diketahui oleh teman yang lain, semisal pengalaman baru ketika ia pergi ke kota, berkelilieng hutan bersama ayahnya sekedar untuk mencari buah markisa atau mnecari jamur kuping. Diawal ramadhan, anak – anak yang bersekolah tidak berangkat sekolah dikarenakan libur. Selain bermain - main dijalan beraspal dengan rodanya yang terbuat dari kayu dan empat 'laher' besi, dari subuh sampai matahari terang, anak - anak kecil itu biasanya berkumpul di suatu tempat. Di manapun mereka berkumpul, sekedar membicarakan hal - hal yang biasa dibicarakan anak – anak, atau seperti yang sudah disebutkan tadi, membeicarakan hal yang ingin dibicarakan atau hal yang diyakininya, seperti lini itu bukanlah gemap dan gempa bukanlah lini.
Anak anak itu penuh imjanisi. Dalam pembicaraan itu pun muncul ide yang terserap dari imajinasi bocah – bovah untuk melakukan hal - hal yang bisa mengatasi kebosananan. Menonton tv adalah hal yang dilarang oleh guru ngaji dan orang tua kami, terlebih lagi di bulan puasa. Lagi pula warung tempat kami nonton tv pun tutup dipagi hari jika dibulan puasa. Kami biasa nonton tv disebuah warung bukan di balai desa, yang anak sipemilik warung juga kawan kami. Tapi meskipun demikian kalau akal bulus kami sedang muncul, kami bisa membuat persekongkolan dengan anak sipemilik warung, dan akhirnya bisa nonton tv dari pagi sampai sore hampir - hampir lupa untuk sholat, dengan serial Wildwest sebagai acara favoritnya. -Pelajaran moral; patuhi nasihat guru ngaji dan orang tuamu, sebelum akhirnya kau menderita.
Alhasil muncullah ide dari sebuah musyawarah para anak - anak kampung itu untuk mengatasi kebosanan yang melanda tatkala menunggu bedug magrib. Mereka merencanakan untuk jalan - jalan sekedar 'ngabeubeurang', menunggu waktu siang ke Kebun Raya yang lokasinya cukup dekat dari kampung kami, cukup dekat apabila diambil garis lurus.
Berakhirlah musyawarah komplotan anak kampung itu dengan keputusan untuk piknik tanpa makanan ke Kebun Raya di bulan puasa. Aku salah satu dari mereka.
Kebun Raya, berada di sebelah sisi utara desa kami. Jarak terdekat adalah garis lurus yang tidak lain adalah tebing curam bersemak belukar dengan arus air di bawahnya. Dengan perhitungan garis lurus tersebut bahkan Kebun Raya bisa terlihat permukaan rumputnya. Jalur lain yang biasa digunakan oleh para orang tua adalah hutan. Jalur ini harus memasuki hutan terlebih dulu. Ke arah barat melewati empat tebing, dua sungai, dan dua bukit, dari sana dilanjutkan dengan menyusuri hutan ke arah timur. Menyeramkan.
Kedua jalur itu tidak kami gunakan. Kami memutuskan untuk menyusuri jalan desa beraspal melewati beberapa kampung. Jaraknya cukup jauh karena memutar, dan kami rasa itu lebih baik daripada melewati empat tebing, dua sungai dan dua bukit serta hutan.
Jalan beraspal dipagi hari menyenangkan, kami berjalan gembira bak mau berpiknik sesungguhnya. kadang kami melalui jalur di luar kampung untuk menghindari beberapa hal; pertama malu sama penduduk kampung; kedua komplotan anak - anak di kampung tersebut.
Kami berjalan dengan begitu bergembiranya dengan jalanan turun tanpa tanjakan, lupa akan derita yang nanti akan menimpa.
Gerbang tertutup, namun ada bagian yang terbuka, tangga yang turun ke dasar sungai. Kami masuk berjalan melenggang di taman dengan pohon - pohon tinggi menjulang. Menjelajahkan pandangan di lingkungan hijau luas nan terawat. Rupa - rupanya anak kampung terdekat juga sudah ada yang bertengger di pohon. Kami tidak saling bicara ataupun menyapa dengan mereka, tidak juga memerhatikan wajahnya. Takut - takut hal itu diartikan sebagai sikap menantang terhadap mereka. Mungkin saja apabila hal itu kami lakukan bisa tersulut emosi mereka dan terjadilah 'pertempuran' atau duel 'kepala suku' dari masing - masing komplotan antar anak kampung yang mengerikan. Sangat mengerikan dengan berbagai macam jurus yang dikeluarkan oleh masing - masing lakon dalam 'pertempuran'.
Hal itu sangat sensitif. Apabila antar anak kampung lain bertemu, maka mereka akan saling menantap, atau sebagian menghindari tatapan itu. Namun bila keduanya menangkap tatapan, entah apa itu arti tatapannya, maka keluarlah bahasa - bahasa yang sulit di mengerti, lalu 'pertempuran' antar anak kampung pun terjadilah.
Mungkin itulah semacam cara untuk menunjukan kekuatan atau mempertahankan wilayah kekuasaan, seperti yang ditampilkan di video dokumenter yang sering kami tonton di TV -Wildwest- , seperti seekor singa pejantan yangunjuk kekuatan mempertahankan wilayahnya ketika singa - singa lain atau hyena datang memasuki wilayahnya. Dan kami memang kebanyakan nonton Wildwest. -Pelajaran moral; jangan sering nonton tv, terlebih acara wildwest.
Dan tanpa bermusyawarah lagi pun sepertinya kami sepakat, bahwa kami tidak ingin hal itu terjadi, yang jelas rumah kami lebih jauh ketimbang mereka, hal itu menyusahkan kami untuk kabur kalau - kalau ketika duel 'mendapatkan kekalahan'.
Berjalan - jalan di sekitar taman dan menjauhi komplotan anak dari kampung lain. Itu adalah cara terbaik untuk tidak mengusik ketentraman mereka dengan 'wilayah kekuasannya'.
Kami mendapatkan tempat dengan posisi tanah tinggi dengan jalanan batu belumut dengan pohon Araucaria di kedua belah sisinya. 'Wilayah kekuasaan' kami menghadap sebuah danau buatan yang besar berbentuk bundar. Bisa kami temukan juga Poecilia reticulata di airnya.
Dari sana, dari 'wilayah kekuasaan' kami bisa melihat hampir ke segala arah karena tempatnya yang cukup tinggi, termasuk pohon tempat komplotan anak kampung terdekat bertengger di dahannya. Di atas rumput hijau serta rindangnya Araucaria, kami bersantai, sekedar bersantai, terlentang melihat langit, atau berjalan - jalan melihat keadaan sekitar lainnya. Persis seperti seekor singa yang sedang memantau wilayahnya.
Suasana yang nyaman membuat kami terlena, bahkan kami memutuskan untuk sholat dzuhur di sana saja, di bawah Araucaria yang rindang dengan jaket yang kami pakai sebagai sajadahnya.
Sebuah penderitaan baru akan dimulai ketika kami pulang. Sekitar pukul 2 siang kami memutuskan untuk pulang. Tidak kami lalui jalan pinggiran lagi, hanya jalan aspal. Ketika keberangkatan jalanan turun, namun ketika pulang semuanya adalah tanjakan. Panas benar matahari pukul 2. Aspal hitam yang terasa begitu panas, serasa nampak fatamorgana. Keringat bercucuran, dan kami sedang berpuasa. Celakanya adikku ikut, membuatku semakin menderita melihatnya. Masih ingat saja ketika saya melihatnya di tanjakan dengan peluh bercucuran. Saya selalu merasa berdosa ketika mengingatnya. Karena aku mengijinkannya untuk ikut.
Kami bagaikan komplotan serdadu Inggris yang terjebak di padang pasir Afrika. Beruntung nasib kami tidak seperti mereka. Kami bisa pulang meskipun dengan kepayahan dan tak tahu apa yang terjadi di rumah masing - masing selanjutnya. -Bagai komplotan Poecillia reticullata yang kehabisan air dan kepanasan terpanggang matahari. Pelajaran moral; jangan memulai ide gila untuk mengadakan perjalanan jauh dengan berjalan kaki di bulan puasa sekedar untuk 'ngabeubeurang', terlebih lagi membawa saudaramu menderita.
Balia Atila di Bulan Puasa
Gabung dalam percakapan