Moh. Hatta, Perjuangan Untuk Negeri: Dari Pergerakan Sampai Persahabatan; Persahabatan Dalam Perjuangan Menuju Kemerdekaan (Habis)
Dwi tunggal, begitulah julukan bagi Bung Hatta dengan mate- nya Bung Karno, sebagai tokoh Proklamator. Orang Indonesia senang ketika keduanya senang, akur. Kolaborasi Bung Hatta dan Bung Karno juga dukungan kawan – kawan lainnya beserta rakyatnya menjadikan Indonesia bertahan dalam mempertahankan serangan agresi Belanda. Betapa pun diantara keduanya persahabatannya terdapat sesuatu yang kontroversial, tetapi keduanya tetaplah sahabat. Persahabatan keduanya, Bung Hatta dan Bung Karno membuahkan kemerdekaan Indonesia. Jalan yang diharap membawa kemaslahatan bagi seluruh rakyatnya, rakyat Indonesia.
Di Astana Anyar di kediaman Bung Karno kali pertama Bung Hatta bertemu dengannya, Bung Karno. Selepas pulang dari sekolahnya di negeri Belanda, ditemani Haji Usman Bung Hatta melakukan sebuah perundingan dengan Bung Karno. Tidak banyak yang tahu bahwa selepas pertemuan Bung Hatta dan Bung Karno sekitar september 1932 itu menimbulkan apa yang disebut beda paham atau beda pandangan dan saling menyerang melalui tulisan. Namun rupanya beda paham itu tidak menjadi penghalang bagi Bung Hatta dan Bung Karno untuk mewujudkan cita – cita mereka bersama, Indonesia merdeka. Bung Hatta maupun Bung Karno tetap profesional dalam pergerakan, bahkan bisa dikatakan bahwa mereka secara tidak langsung saling memotivasi dengan caranya masing – masing yang sulit diejawantahkan dengan pemahaman logika yang biasa.
Meskipun beda paham mengenai maksud non cooperation, Bung Karno teguh dengan pandangan non cooperationnya dan Bung Hatta kukuh dengan pandangan non cooperationnya, namun ketika Bung karno pulang dari Bengkulu sebagai internir-an pemerintah kolonial Belanda, Bung Hatta adalah orang pertama yang ingain ia ajak bicara. Itu adalah salah satu bukti bahwa persahabatan keduanya begitu dalam dan tetap profesional dalam usaha memerdekan Indonesia.
Persahabatan demi persahabatan terjalin di jalan perjuangan. Di tanah air sendiri dengan masyaraka dan tokoh pergerakan pribumi maupun di luar tanah air bahkan persahabatan dengan kawan seperjuangan dari lain negeri. Kemerdekaan, bukan hanya Indonesia kala itu yang sedang memperjuangkan. Jawaharlal Nehru tokoh pergerakan dari India yang memperjuangkan kemerdekaan tanah airnya dari Britania Raya. Bung Hatta dan Nehru bersama – sama dalam kongres Antikolonial di Brussel, bersama – sama di Liga Menetang Penjajahan untuk Kemerdekaan Nasional dan bersama – sama pula dikeluarkan dari Liga bersama .
Diperkumpulan Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda kesetiakawaanan sesama anggota menjadi semakin erat tatkala berbagai tekanan dilakukan terhadap anggota perkumpulan. Banyak orang tua anggota Perhimpunan Indonesia yang tinggal di tanah air mendapat ancaman dari pemerintah kolonial Belanda. Mereka yang merupakan pegawai negeri pemerintah kolonial diberikan pilihan apakah anaknya tetap menjadi anggota Perhimpunan Indonesia atau mereka sendiri keluar dari jabatan sebagai pegawai negeri. Bagi orang tua yang mengalah pada ancaman tersebut dengan terpakasa tidak mengirimi uang bulanan pada anaknya di negeri Belanda, karena anaknya tetap bersikukuh tetap menjadi anggota Perhimpunan Indonesia. Anggota perhimpunan Indonesia di negeri Belanda yang tidak berpenghasilan dan tidak dapat uang bulanana dari orang tua nya di tanah air, bertahan hidup bantu membantu dengan kawan seperkumpulan. Anggota perkumpulan yang lain tak keberatan untuk berbagi makan, sejak itu dikenal sistem makanan bersama, yang tidak punya penghasilan dan uang bulanan dibebaskan dari membayar makan, sering kali juga mereka berbagi makan satu rantang untuk banyak orang. Tapi ternyata segala upaya pemerintah kolonial tak sedikit pun menyurutkan semangat pergerakan, nyatanya kepedihan demi kepedihan menguatkan persahabatan antara anggota perkumpulan, menyulut semangat perjuangan menuju kemerdekaan.
Sekitar tahun 1920-an Bung Hatta kali pertama bertemu dengan Grand Old Man, H. Agus Salim. Kala itu H. Agus salim baru berusia 30 tahun dan aktif di Sarekat Islam dan Sarekat Pekerja yang selanjutnya menjadi sebuah persahabatan dalam menuju gerbang kemerdekaan Indonesia, termasuk ketika Bung Hatta di buang pada masa Agresi Belanda II.
Selayaknya Grand Old Man, H. Agus Salim biasa menjadi tempat bertanya atau tempat diskusi tokoh – tokoh muda termasuk Bung Hatta dan kawan – kawan. Salah satu buah diskusi dengan H. Agus Salim adalah pandangan tentang sosialis yang membuat Bung Hatta semakin yakin pada sosialisme. Sebuah sosialisme yang ada jauh sebelum Karl Max mendengungkan dan membuat dunia gusar. Sosialisme yang dipaham Bung Hatta dan H. Agus Salim bukanlah soasialisme Marx yang menyesatkan. H. Agus salim mengemukakan dalam sebuah kesempatan diskusi dengan Bung Hatta dan kawan – kawan bahwa nilai – nilai sosialisme sudah ada 12 abad lebih dulu daripada sosialisme yang di ajarkan Marx. Istilah sosialisme sendiri baru ada sekitar abad 19 yang condong pada sosialisme Marx yang Anti Tuhan.
Seperti yang disebutkan bahwa persahabatan H. Agus Salim dan Bung Hatta menambah yakin sosialisme yang bukan sosialisme Marx. Pandangan sosialisme Bung Hatta yang semakin mantap akhirnya membuahkan hasil dengan pendirian badan perkoperasian di Indonesia setelah Indonesia merdeka, dan tentu setelah melakukan pembelajaran koperasi di negara Skandavia semasa belajar di Belanda.
Segala bentuk persahabatan baik dengan tokoh pergerakan di tanah air maupun dengan tokoh pergerakan kemerdekaan di luar tanah air seolah – olah menyempurnakan pejuangan kemerdekaan, mempertahankan kemerdekaan, dan mengisi kemerdekaan. Dengan Bung Karno, Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, dengan H. Agus Salim Bung Hatta di buang dan berbagi pemikiran sosialisme non Marx yang akhirnya melahirkan koperasi, dengan Nehru Bung Hatta bersahabat berdiskusi dan meminta bantuan dalam mengawal kemerdekaan Indonesia dari aksi agresi. Kesemuanya adalah buah dari persahabatan yang terus dipupuk, mengakar dan kuat.
Berbicara mengenai Bung Hatta tak cukup kata untuk terus membahasnya. Berbagai kisah atau cerita mulai dari latar keluarganya yang dari kalangan ulama, sepak terjang pergerakannya dalam perjuangan maupun pengalaman intelektualnya yang luar biasa. Namun dari kesemunya ada hal lain yang patut di masukan dalam setiap pembicaran, dalam setiap bahasan. Yaitu kesehajaan.
Betatapun Bung Hatta ada dalam kecukupan di masa mudanya, sejahtera keluarganya tapi tidak membuatnya bertumpang kaki menikmati segala ketersediaan kebutuhannya apa lagi menjadi pejah-gesang nderek Belanda . Bung Hatta telik melihat keadaan lingkungannya yang menderita dan rela ikut menderita, dibuang dan dipenjara hanya untuk berusaha membuat orang di lingkungan sekitarnya terbebas dari penderitaannya, lingkungan disekitarnya itu adalah rakyat Indonesia.
Bung Hatta, patut menjadi tauladan generasi selanjutnya dari berbagai aspek kehidupannya, seorang intelektual, ekonom, proklamator, negarawan serta kesehajaannya. Banyak pandangan dan akan banyak gambaran. Seperti salah satunya adalah dari tembang seorang penyanyi kenamaan di Indonesia, dalam lagunya dia bercerita; Bung Hatta, jujur, lugu dan bijaksana. Proklamator tercinta.
Di Astana Anyar di kediaman Bung Karno kali pertama Bung Hatta bertemu dengannya, Bung Karno. Selepas pulang dari sekolahnya di negeri Belanda, ditemani Haji Usman Bung Hatta melakukan sebuah perundingan dengan Bung Karno. Tidak banyak yang tahu bahwa selepas pertemuan Bung Hatta dan Bung Karno sekitar september 1932 itu menimbulkan apa yang disebut beda paham atau beda pandangan dan saling menyerang melalui tulisan. Namun rupanya beda paham itu tidak menjadi penghalang bagi Bung Hatta dan Bung Karno untuk mewujudkan cita – cita mereka bersama, Indonesia merdeka. Bung Hatta maupun Bung Karno tetap profesional dalam pergerakan, bahkan bisa dikatakan bahwa mereka secara tidak langsung saling memotivasi dengan caranya masing – masing yang sulit diejawantahkan dengan pemahaman logika yang biasa.
Meskipun beda paham mengenai maksud non cooperation, Bung Karno teguh dengan pandangan non cooperationnya dan Bung Hatta kukuh dengan pandangan non cooperationnya, namun ketika Bung karno pulang dari Bengkulu sebagai internir-an pemerintah kolonial Belanda, Bung Hatta adalah orang pertama yang ingain ia ajak bicara. Itu adalah salah satu bukti bahwa persahabatan keduanya begitu dalam dan tetap profesional dalam usaha memerdekan Indonesia.
Persahabatan demi persahabatan terjalin di jalan perjuangan. Di tanah air sendiri dengan masyaraka dan tokoh pergerakan pribumi maupun di luar tanah air bahkan persahabatan dengan kawan seperjuangan dari lain negeri. Kemerdekaan, bukan hanya Indonesia kala itu yang sedang memperjuangkan. Jawaharlal Nehru tokoh pergerakan dari India yang memperjuangkan kemerdekaan tanah airnya dari Britania Raya. Bung Hatta dan Nehru bersama – sama dalam kongres Antikolonial di Brussel, bersama – sama di Liga Menetang Penjajahan untuk Kemerdekaan Nasional dan bersama – sama pula dikeluarkan dari Liga bersama .
Diperkumpulan Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda kesetiakawaanan sesama anggota menjadi semakin erat tatkala berbagai tekanan dilakukan terhadap anggota perkumpulan. Banyak orang tua anggota Perhimpunan Indonesia yang tinggal di tanah air mendapat ancaman dari pemerintah kolonial Belanda. Mereka yang merupakan pegawai negeri pemerintah kolonial diberikan pilihan apakah anaknya tetap menjadi anggota Perhimpunan Indonesia atau mereka sendiri keluar dari jabatan sebagai pegawai negeri. Bagi orang tua yang mengalah pada ancaman tersebut dengan terpakasa tidak mengirimi uang bulanan pada anaknya di negeri Belanda, karena anaknya tetap bersikukuh tetap menjadi anggota Perhimpunan Indonesia. Anggota perhimpunan Indonesia di negeri Belanda yang tidak berpenghasilan dan tidak dapat uang bulanana dari orang tua nya di tanah air, bertahan hidup bantu membantu dengan kawan seperkumpulan. Anggota perkumpulan yang lain tak keberatan untuk berbagi makan, sejak itu dikenal sistem makanan bersama, yang tidak punya penghasilan dan uang bulanan dibebaskan dari membayar makan, sering kali juga mereka berbagi makan satu rantang untuk banyak orang. Tapi ternyata segala upaya pemerintah kolonial tak sedikit pun menyurutkan semangat pergerakan, nyatanya kepedihan demi kepedihan menguatkan persahabatan antara anggota perkumpulan, menyulut semangat perjuangan menuju kemerdekaan.
Sekitar tahun 1920-an Bung Hatta kali pertama bertemu dengan Grand Old Man, H. Agus Salim. Kala itu H. Agus salim baru berusia 30 tahun dan aktif di Sarekat Islam dan Sarekat Pekerja yang selanjutnya menjadi sebuah persahabatan dalam menuju gerbang kemerdekaan Indonesia, termasuk ketika Bung Hatta di buang pada masa Agresi Belanda II.
Selayaknya Grand Old Man, H. Agus Salim biasa menjadi tempat bertanya atau tempat diskusi tokoh – tokoh muda termasuk Bung Hatta dan kawan – kawan. Salah satu buah diskusi dengan H. Agus Salim adalah pandangan tentang sosialis yang membuat Bung Hatta semakin yakin pada sosialisme. Sebuah sosialisme yang ada jauh sebelum Karl Max mendengungkan dan membuat dunia gusar. Sosialisme yang dipaham Bung Hatta dan H. Agus Salim bukanlah soasialisme Marx yang menyesatkan. H. Agus salim mengemukakan dalam sebuah kesempatan diskusi dengan Bung Hatta dan kawan – kawan bahwa nilai – nilai sosialisme sudah ada 12 abad lebih dulu daripada sosialisme yang di ajarkan Marx. Istilah sosialisme sendiri baru ada sekitar abad 19 yang condong pada sosialisme Marx yang Anti Tuhan.
Seperti yang disebutkan bahwa persahabatan H. Agus Salim dan Bung Hatta menambah yakin sosialisme yang bukan sosialisme Marx. Pandangan sosialisme Bung Hatta yang semakin mantap akhirnya membuahkan hasil dengan pendirian badan perkoperasian di Indonesia setelah Indonesia merdeka, dan tentu setelah melakukan pembelajaran koperasi di negara Skandavia semasa belajar di Belanda.
Segala bentuk persahabatan baik dengan tokoh pergerakan di tanah air maupun dengan tokoh pergerakan kemerdekaan di luar tanah air seolah – olah menyempurnakan pejuangan kemerdekaan, mempertahankan kemerdekaan, dan mengisi kemerdekaan. Dengan Bung Karno, Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, dengan H. Agus Salim Bung Hatta di buang dan berbagi pemikiran sosialisme non Marx yang akhirnya melahirkan koperasi, dengan Nehru Bung Hatta bersahabat berdiskusi dan meminta bantuan dalam mengawal kemerdekaan Indonesia dari aksi agresi. Kesemuanya adalah buah dari persahabatan yang terus dipupuk, mengakar dan kuat.
Berbicara mengenai Bung Hatta tak cukup kata untuk terus membahasnya. Berbagai kisah atau cerita mulai dari latar keluarganya yang dari kalangan ulama, sepak terjang pergerakannya dalam perjuangan maupun pengalaman intelektualnya yang luar biasa. Namun dari kesemunya ada hal lain yang patut di masukan dalam setiap pembicaran, dalam setiap bahasan. Yaitu kesehajaan.
Betatapun Bung Hatta ada dalam kecukupan di masa mudanya, sejahtera keluarganya tapi tidak membuatnya bertumpang kaki menikmati segala ketersediaan kebutuhannya apa lagi menjadi pejah-gesang nderek Belanda . Bung Hatta telik melihat keadaan lingkungannya yang menderita dan rela ikut menderita, dibuang dan dipenjara hanya untuk berusaha membuat orang di lingkungan sekitarnya terbebas dari penderitaannya, lingkungan disekitarnya itu adalah rakyat Indonesia.
Bung Hatta, patut menjadi tauladan generasi selanjutnya dari berbagai aspek kehidupannya, seorang intelektual, ekonom, proklamator, negarawan serta kesehajaannya. Banyak pandangan dan akan banyak gambaran. Seperti salah satunya adalah dari tembang seorang penyanyi kenamaan di Indonesia, dalam lagunya dia bercerita; Bung Hatta, jujur, lugu dan bijaksana. Proklamator tercinta.
Gabung dalam percakapan