Reformasi; Otonomi Daerah dan Implementasi


Pengunduran diri Presiden Soeharto 21 Mei 1998. Sumber gambar romansa.com
Telah berpuluh tahun berlalu namun menjadi kisah yang masih misteri sampai saat ini.  21 mei 1998 menjadi hari bersejarah, hari dimana pensiunan jenderal yang memerintah Indonesia selama 32 tahun itu harus mengundurkan diri dari jabatan sebagai Presiden. Krisis ekonomi, politik serta tuntutan kaum intelektual/mahasiswa yang menyerukan reformasi hingga akhirnya Suharto harus legowo mengundurkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia, dan Indonesia memasuki babak baru. Dengan berakhirnya orde baru Indonesia memasuki babak baru yang disebut “reformasi“.

Dengan adanya reformasi yang merupakan tuntutan rakyat Indonesia, berakhirlah sentralisasi yang terjadi selama orde baru dan diberlakukan desentralisasi. Dikeluarkan UU no 22 tahun 1999 oleh Presiden BJ Habiebie yang selanjutnya direvisi menjadi UU no 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah sebagai model Desentralisasi. Meskipun sebenarnya Amien Rais telah mengajukan pembentukan model federal sebagai dukungan menjadikan negara yang demokratis (Dr. H. Obsatar Sinaga, 2010:4). Meskipun otonomi daerah juga mendekati sistem federal. Dan ini merupakan transformasi baru didalam perpolitikan Indonesia.  

Otonomi daerah sendiri terjadi di negara-negara modern dan merupakan salah satu tuntutan Internasional sebagai bentuk penyelenggraan negara yang demokratis. Di Inggris dan Wales misalnya  membagi daerah dalam “counties” dan “district” sedangkan di Perancis  terdapat  “departments” dan  “communes”. Hal tersebut merupakan salah satu fokus desentralisasi dalam negara kesatuan (Brian C Smith, 2012:2). Adapun desentraslisasi yang di Indonesia disebut dengan otonomi daerah  bertujuan; 1. Peningakatan pelayanan kepada masyarakat, 2. Peningkaatan kesejahteraan masyarakat 3. Terpeliharanya  Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selanjutnya dalam pelaksanaan atau implementasi kebijakan Otonomi daerah yang tertuang dalam UU no 32 tahun 2004 ini perlu kesiapan dari pelaksananya yang diantaranya aparut pemerintah. Tanpa didukung dengan sumber daya manusia yang memang siap atau berkompeten dalam melaksanakan kebijakan otonomi daerah tersebut hanya akan menimbulkan masalah-masalah baru yang lebih kompleks.

Lebih jauhnya implementasi otonomi daerah tanpa disertai dengan kesiapan sumber daya manusianya memberikan celah-celah untuk melakukan pelanggaran termasuk didalamanya adalah korupsi. Tercatat sekitar 300 kepala daerah telah melakukan korupsi (Republika, 3 juni 2012). Serta belum lagi penyelenggaraan pilkada yang tidak efektif yang bisa memboroskan keuangan.

Otonomi daerah bukanlah sebuah tujuan akhir namun hanyalah sebuah jembatan untuk menuju tujuan. Alhasil jika kita perhatikan kembali tujuan otonomi daerah tadi, apa yang sudah mulai terasa oleh kita semua sebagai masyarakat? Peningkatan pelayanan masyarakat, atau peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dan tentunya anda sekalian dapat merasakan bagaimana pelayanan publik selama yang disediakan pemerintah saai ini, anda dapat menilai sendiri.